Menebus Perkara Wajib yang Ditinggalkan Oleh Mayit, Baik Perkara Tersebut kepada Manusia atau Allah Swt

27 Juni 2022, 22:12 WIB
Menebus Perkara Wajib yang Ditinggalkan Oleh Mayit, Baik Perkara Tersebut kepada Manusia atau Allah Swt/ /SofiLayla//Pixabay

BeritaSampang.com - Kewajiban-kewajiban yang tidak sempat dilaksanakan oleh seseorang lalu meninggal dunia, tetap menjadi utang baginya.

Pada dasarnya, ada dua macam kewajiban yang sering ditinggalkan oleh mayat, yang menjadi utang baginya; yaitu utang kepada sesama manusia dan kepada Tuhan.

1. Utang kepada Sesama Manusia

Baca Juga: Transplantasi atau Pencangkokan Organ Tubuh Manusia 'Donor Mata'

Telah disepakati oleh Ulama Hukum Islam (Fuqaha'), tentang keharusan ahli waris menebus (melunasi) utang-utang keluarganya yang meninggal, kepada orang yang ditempati berutang.

Karena menjadi resiko yang sangat mempengaruhi mayat dalam kuburannya, sehingga Nabi sendiri tidak mau menyembahyangi mayat yang belum lunas utangnya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sebuah Hadith yang menerangkan bahwa pernah seorang Sahabat minta kepada Rasulullah agar menyembahyangi mayat keluarganya.

Baca Juga: Lirik Lagu ‘Maafkan Aku’ Enda di Cover Indah Yastami, Tidurlah Sayangku Mentari Telah Menunggu

Ketika itu, Nabi menanyakan bahwa adakah utang yang ditinggalkan mayat ini? Maka seorang dari keluarganya menjawab bahwa ada.

Ketika itu, Nabi tidak mau menyembahyanginya, dan menyerahkan kepada Sahabatnya agar mereka menyembahyanginya.

Kemudian diterangkan oleh Hadith lain bahwa rahmat Allah di tangguhkan atas mayat yang berutang kepada orang lain.

Maka dalam hal ini, ahli warisnya berkewajiban untuk melunasi utang mayat itu, sebagai bagian dari pada kewajibannya berbuat baik kepada mayat tersebut.

2. Utang Kepada Allah SWT

Baca Juga: Resep Kentang Krispi dan Gurih, Kamu Wajib Coba

Kalau kewajiban mayat terhadap sesama manusia, dibenarkan dalam Islam untuk ditebus oleh ahli warisnya, dan termasuk hal yang disepakati oleh Fuqäha. Maka penebusan kewajiban mayat terhadap Tuhan, tidak disepakatinya.

Dalam hal ini penulis hanya mengemukakan kewajiban mayat terhadap Tuhan; karena meninggalkan şalat, zakat, puasa dan haji.

Kewajiban tersebut akan diterangkan kebolehan atau tidaknya ditebus oleh orang yang ditinggalkannya.

a. Menebus Kewajiban Salat

Tidak ada alasan untuk membolehkan menebus şalat wajib yang telah ditinggalkan oleh mayat, karena memang tidak ada jalan bagi orang Muslim untuk meninggalkannya.

Karena itu, dalam Hadith diterangkan bahwa apabila seseorang tidak sanggup salat berdiri, maka hendaklah ia salat duduk, dan kalau tidak sanggup duduk, ia harus şalat berbaring.

Bahkan salat isyarat dengan telunjuk pun dibolehkan bila ia tidak sanggup melakukan salat ber baring.

Baca Juga: Marshanda Hilang di Los Angeles Amerika Serikat, Sahabatnya Ungkap Kejanggalan Marshanda Sebelum Hilang

Kemudian salat wajib yang telah dinadzarkan oleh mayat, tidak boleh juga ditebus oleh ahli warisnya, karena tidak ada jalan untuk membolehkan seseorang menadzarkan ibadah yang diwajibkan.

Kecuali salat sunat, boleh ditebus oleh ahli warisnya, ber dasarkan sebuah Hadith yang berbunyi:

أمر ابن عمر امرآة جعلت أمها على نفسها صلاة بقاء، يعني ثم ماتت ، فقال : صلى عنها. (رواه البخاري)

Artinya: Ibnu Umar memerintahkan kepada seorang perempuan (agar menebus shalat sunat) yang telah dinadzarkan ibunya di masjid Kuba'; yaitu sebelum dilaksanakannya, ia meninggal, maka (Ibnu Umar) ber kata: Laksanakanlah salat untuknya. (H.R. Bukhary).

b. Menebus Kewajiban Zakat

Baca Juga: Rekomendasi Resep Daging Kurban Spesial Idul Adha 'Sop Buntut dan Buntut Bakar' Tanpa Presto

Zakat adalah ibadah maliyah mahdhah (ibadah murni lewat harta benda). Maka di dalamnya terdapat hak-hak Allah dan hak hak sesama manusia yang wajib dilaksanakannya.

Sehingga, kalau seseorang tidak pernah membayarkan kepada yang berhak menerimanya, kemudian meninggal, maka berarti ia meninggalkan kewajiban terhadap Tuhan dan kepada sesama manusia.

Tentang kebolehan ditebus oleh ahli warisnya, menjadi perbe daan pendapat di kalangan Fuqaha'; antara lain:

1) Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa boleh ditebus oleh ahli warisannya, meskipun ia tidak meninggalkan wasiat.

2) Imam Abu Hanifah dan Ulama-ulama Ra'yi lainnya mengata kan; tidak boleh menebus kewajiban zakat yang ditinggalkan mayat bila tidak diwasiatkannya.

Baca Juga: Sebelum Hilang di Los Angeles, Marshanda Sempat Live di YouTube: Gaada Penyakit yang Gabisa Sembuh

Karena wasiat itulah yang menjadi bukti adanya keikhlasan dalam mengeluarkan zakat itu. Keikhlasan tersebut, harus berasal dari mayat dan orang yang dipercayakan mengeluarkan zakat itu.

Penulis lebih cenderung memegangi pendapat yang pertama, dan orang lain pun dibolehkan mengeluarkan zakat yang diting galkan mayat, sekali pun tidak pernah diwasiatkannya.

Hal ini sesuai dengan keterangan Sayyid Sabiq tentang pendapat Al Nawawy yang mengatakan:

وقد حكى النووي الإجماع على أنها تقع على الميت وصله ثوابها سواء كانت من ولده أوغيره.

Artinya: Telah diceritakan oleh Imam Al-Nawawy; menurut Ijma' Ulama mengatakan bahwa (boleh menebus kewajiban) yang ditinggalkan mayat, dan pahalanya pasti sampai kepadanya, baik dilakukan oleh anaknya (keluarga), maupun oleh orang lain.

Baca Juga: Diwarnai Drama Tujuh Gol, Bali United Tumbang di Depan Publik Sendiri

c. Menebus Kewajiban Puasa

Puasa merupakan ibadah badaniyah mahdah (murni); yang tidak disepakati oleh Ulama Figh tentang kebolehannya ditebus oleh orang hidup untuk mayat.

1) Imam Syafi'i dalam Qaulul Qadimnya dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: dimustahabkan kepada ahli warisnya menebus puasa yang telah ditinggalkan mayat, baikpuasa fardhu maupun nadzar.

2) Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi'i dalam Qaulul Jadid mengatakan: Tidak boleh menebus puasa untuk mayat.

Karena puasa itu merupakan tanggung jawab pribadi yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.

Bagi orang yang tidak sanggup berpuasa, maka ia harus memberi makan kepa da fakir miskin (berfidyah) dengan secupak beras atau gandum dalam setiap hari.

Baca Juga: Alasan Terkait Kebolehan Membedah Mayat dalam Islam

Maka apabila ahli waris hendak menebus puasa yang ditinggal mayat, ia harus menebusnya dengan cara berfidiyah.

3). Imam Ishaq dan Imam Al-Laith mengatakan: tidak boleh me nebus puasa fardu yang telah ditinggalkan mayat kecuali hanya puasa nadzar saja.

Penulis menetapkan bahwa boleh menebus puasa yang di tinggalkan mayat; baik yang fardhu, sunat maupun yang telah di nadzarkan, sebagaimana pendapat Al-Syaukany di muka.

Selanjutnya, dapat diketahui bahwa kedua pendapat Imam Syafi yang berbeda (Qaulul Qadim dan Qaulul Jadid). mem buktikan bahwa hukum Islam berlaku pada semua pihak yang berbeda kondisi dan situasinya.

Sehingga dibolehkan menebus puasa mayat dengan cara berpuasa untuknya; bagi seseorang yang sanggup berpuasa, dan dibolehkan berfidyah bagi orang yang menyanggupinya pula.

Sehingga keluarga yang ditinggalkan dapat memilih cara yang tidak memberatkan dirinya.

d. Menebus Kewajiban Haji

Baca Juga: Resep 'Bakso Ikan' Ala Korea, Berbahan Ayam dan Tahu Ekonomis dan Praktis

Haji merupakan suatu ibadah badaniyah dan maliyah, yang wajib dikerjakan oleh orang Muslim dan Muslimah yang mempunyai kesanggupan pisik dan biaya perjalanan.

Tetapi apabila seseorang mengerjakan haji untuk menebus kewajiban yang ditinggalkan mayat, maka menjadi perbedaan pendapat dikalangan fuqaha.

1) Imam Syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal memilih pendapat Abu Hurairah, Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas yang menetapkan bahwa boleh menebus haji yang ditinggalkan mayat, baik haji fardhu maupun haji nadzar.

2). Imam Malik mengatakan bahwa boleh menebus haji yang di tinggalkan oleh mayat, baik fardhu maupun nadzar, asalkan pernah diwasiatkannya.

Baca Juga: Lirik dan Chord Gitar ‘Berlayar Tak Bertepian’ Ella

Tetapi dengan ketentuan bahwa hanya boleh mengambil sepertiga dari harta yang ditinggalkannya untuk biaya haji.

Kalau tidak diwasiatkannya, maka tidak boleh menebuskannya, karena ibadah haji digolongkan sebagai ibadah badaniyah, sehingga tidak dapat digantikan oleh orang lain.

Dari kedua macam pendapat di atas, penulis condong mengam bil pendapat pertama, baik haji itu pernah diwasiatkan oleh mayat, maupun tidak diwasiatkannya.

Begitu juga orang yang mewakilinya, baik dari keluarganya, maupun yang bukan; dengan ketentuan bahwa harus seizin atau ditugaskan oleh keluarga si mayat.***

 

 

 

Editor: Nurul Azizah

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Terkini

Terpopuler