BeritaSampang.com - Mulai awal Januari 2022 Kementrian Keuangan menaikkan kembali cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12 persen dan 4,5 persen untuk golongan sugaret kretek (SKT).
Kenaikan cukai itu juga berdampak pada harga rokok yang semakin mahal yang tentunya akan dirasakan banyak masyarakat konsumen rokok terlebih yang berekonomi menengah ke bawah.
Kenaikan cukai ini menimbulkan dilema karena pro kontra di dalamnya yang menimbulkan polemik dalam pengambilan keputusan.
Baca Juga: WNA dari 14 Negara ini Dilarang Masuk ke Indonesia.
Hal itu dikatakan oleh Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga memikirkan dampak besar terhadap masyarakat.
Seperti dikuti oleh BeritaSampang.com dari lama Pikiran-Rakyat.com berjudul "Harga Rokok Naik, Dibenci karena Merusak Raga Dirindu karena Biayai Negara"
Dia menjelaskan, dalam pengambilan kebijakan cukai rokok, meski kontribusi dalam penerimaan negara sangat besar, Rp175 triliun, pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor kesehatan. “Itu (penerimaan negara) gede, kemudian concern kesehatan muncul,” katanya.
Baca Juga: Tangkap Joki Vaksin, Kapolresta Banjarmasin: Ayo Silakan Vaksin Bagi Diri Sendiri
Kementerian Keuangan memasang target kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau pada 2022 mencapai Rp20 triliun. Target penerimaan cukai rokok hampir Rp173 triliun pada 2021 dan menjadi hampir Rp193 triliun tahun 2022 sehingga kenaikannya hampir Rp20 triliun.
Pemerintah, kata Sri Mulyani, lebih memilih kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Karena, rokok adalah produk berbahaya yang harus dijauhkan dari masyarakat sehingga dilakukan kenaikan harga agar makin tak terjangkau.
Baca Juga: Berikut Persyaratan yang Harus Dipenuhi untuk Mendapat Vaksin Booster Dosis Ketiga, Cek Apa Saja!
"Pemerintah berupaya melindungi masyarakat dari konsumsi barang-barang berbahaya seperti rokok," ujarnya.
Apalagi rokok adalah penyebab kematian nomor dua di dunia dan juga penyebab meningkatnya risiko stunting. Kondisi itu tentu tidak baik bagi Indonesia terutama dari sisi perekonomian.
"Keluarga perokok memiliki anak stunting 5,5 persen lebih tinggi tinggi dibandingkan tidak merokok. Negara yang memiliki tenaga kerja stunting cenderung memiliki pendapatan perkapita lebih rendah," katanya.
Pada masa pandemi COvid-19, perokok berisiko 14 kali lebih tinggi terinfeksi Covid-19 dibandingkan bukan perokok. Penderita Covid-19 yang perokok 2,4 kali lebih berpotensi masuk kategori berat dibandingkan yang tidak.
"Oleh karena itu, dengan bahaya rokok ini pemerintah menggunakan instrumen kebijakan cukai," kata dia.
Prevalensi
Dengan adanya kenaikan itu, diharapkan tingkat prevalensi merokok masyarakat bisa menurun.
Prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.
Pemerintah menargetkan prevalensi merokok terutama anak usia 10-18 tahun bisa turun menjadi 8,83 persen tahun depan dari saat ini 8,97 persen.
"Kebijakan tarif CHT dilakukan agar mendorong rokok semakin tidak terjangkau masyarakat yang kita lindungi yakni anak-anak dan orang miskin," katanya.
Sri Mulyani mengungkap, biaya kesehatan akibat merokok sebesar Rp17,9 triliun-Rp27,7 triliun setahun. Dari jumlah biaya tersebut, Rp10,5 trilun-Rp15,6 triliun berasal dari BPJS Kesehatan.
"Pertama dari sisi kesehatan, dalam rangka pengendalian konsumsi. Rokok adalah pengeluaran terbesar kedua. Baik di perkotaan dan perdesaan, rokok adalah komuditas dua tertinggi dari sisi pengeluaran rumah tangga, sesudah beras," katanya.
Mulai tahun 2022, pemerintah juga akan merombak pembagian dana dari hasil pemungutan cukai rokok. Dana bagi hasil cukai tembakau, terus diperbaiki dari sisi kebijakannyanya.
Pembagian dana cukai rokok akan disalurkan untuk kesehatan (25 persen), kesejahteraan masyarakat (50 persen), dan penegakan hukum (25 persen).
Porsi untuk kesejahteraan masyarakat akan dibagi mencakup sebesar 20 persen peningkatan kualitas bahan baku, keterampilan kerja, dan pembinaan industri, serta 30 persen pemberian bantuan.
Sri Mulyani menyadari bahwa kenaikan cukai rokok rentan menimbulkan produksi rokok ilegal. Oleh sebab itu, dia mewanti-wanti pengawasan produksi rokok ilegal.
"Ini perlu untuk kita waspadai. Semakin tinggi harga rokok dan tarif cukainya, semakin besar insentif terjadinya kegiatan dari produksi rokok ilegal," katanya.
Angka prevalensi merokok nasional yaitu 29 persen menempatkan Indonesia sebagai pasar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India (WHO).
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas di Indonesia 33,8 persen. Jumlah itu didominasi laki-laki, 62,9 persen.
Konsumsi rokok pada perokok usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan 1,9 persen dalam 5 tahun (2013-2018), bahkan anak sudah mulai merokok sejak usia sekolah dasar.
"Karena harga rokok yang murah, bisa dibeli secara batangan, dan tidak ada larangan yang tegas bagi anak-anak untuk membeli rokok. Saat ini, harga jual eceran rokok di Indonesia masih tergolong rendah," katanya.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, Dr. Ede Surya Darmawan menyampaikan apresiasinya kepada pemerintah karena menomorsatukan kesehatan publik jika ingin target utama RPJMN 2020-2024 tercapai dan sekaligus menikmati bonus demografi.
Ia menegaskan, upaya melindungi kesehatan masyarakat adalah upaya bersama semua pihak.
Peningkatan cukai dan harga rokok yang mahal merupakan salah satu peningkatan penerimaan negara, mengingat harga rokok di Indonesia paling murah di kawasan regional.
Kalah promosi
Dokter spesialis paru dari RS Santosa Kopo dr Rohmat Andiyadi, SpP berpendapat, kenaikan cukai rokok bagi sisi kesehatan memang diharapkan untuk menekan perokok demi kesehatan masyarakat yang lebih baik.
Hanya, naiknya cukai rokok itu ternyata tidak menyebabkan menurunnya jumlah perokok di Indonesia.
"Walau cukai rokok terus naik, penggunaan rokok juga terus meningkat, bahkan peningkatan terjadi pada usia muda. Riset Dasar Kesehatan Dasar Nasional menyebutkan bahkan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun pada 2013 adalah 7,2 persen dan meningkat pada 2019 menjadi 9,1 persen," kata Rohmat di Bandung, Jumat 7 Januari 2022.
Rohmat mengatakan, naiknya pengguna rokok aktif akan meningkatkan juga paparan asap pada orang lain.
Perokok pasif akan rentan terhadap penularan infeksi saluran napas baik itu dari virus, bakteri atau kuman lainnya.
Rohmat mengutarakan, edukasi dan promosi kesehatan terhadap bahaya rokok masih kalah dengan promosi produk rokok. Kondisi ini merupakan tantangan bagi semua pihak, termasuk untuk pemerhati kesehatan.
Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia, dr. Sumarjati Arjoso, SKM menyambut baik dan menyampaikan apresiasi terhadap keputusan pemerintah.
Akan tetapi, kata Sumarjati, kenaikan tersebut belum cukup ideal untuk menurunkan prevalensi merokok, khususnya di kalangan anak dan perempuan.
"Pemerintah seharusnya menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen, harga jual eceran naik 57 persen dan melarang penjualan rokok batangan agar lebih efektif membuat rokok sungguh-sungguh tidak terjangkau," katanya.
Selain itu, Sumarjati juga menyayangkan dibatalkannya simplifikasi cukai oleh pemerintah walaupun celah tarif diperkecil.
Penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau secara merata akan menjadi instrumen yang ideal untuk meningkatkan penerimaan negara sekaligus penurunan konsumsi rokok di masyarakat.
Rokok lokal
Kenaikan cukai tembakau memicu pro dan kontra terutama dari sisi perokok. Warga asal Rancabolang, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung Agung Nugraha (34) menyatakan, kenaikan tersebut sah-sah saja. Meski kenaikan cukai tembakau dipastikan berimbas pada harga rokok.
Tokoh pemuda Kota Bandung, Sugih Gandamihardja mengganggap kenaikan cukai rokok berbahaya bagi UMKM rokok lokal yang ada di Indonesia. Dikhawatirkan, akan banyak UMKM yang gulung tikar, termasuk petani tembakau dan cengkih.
Menurut Sugih, pemerintah seharusnya hanya menaikkan cukai tembakau rokok asing saja.
Pemilik merek rokok lokal, Sangkuriang, Firdaus Hadi mengatakan, kenaikan cukai tembakau terjadi pada rokok yang dibuat dengan menggunakan mesin. Kenaikannya bahkan hingga 10-15 persen sedangkan rokok Sangkuriang semuanya menggunakan tangan.
Nasib petani
Benci tapi rindu. Tampaknya itulah, perumpamaan yang pas bagi pemerintah terhadap komoditas tembakau.
Perumpamaan itu, terucap renyah dari Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia Jawa Barat, Suryana di Tanjungsari, Sumedang.
Ia mengatakan, seberat-beratnya dampak kenaikan cukai hasil tembakau oleh pemerintah, yang sengsara tetap para petani tembakau.
"Ujung penderitaan dari kenaikan cukai hasil tembakau, ada di petani," ujar Suryana.
Menurut dia, kenaikan cukai hasil tembakau, memang dampak langsungnya terhadap industri rokok.
Akan tetapi, bagi industri rokok tidak jadi masalah, bahkan mereka tidak mau ambil pusing. Ketika cukai hasil tembakaunya dinaikkan pemerintah, pengusaha industri rokok tinggal menekan harga jual tembakau dari petani dengan harga murah.
"Kalau petani, mau menekan siapa? Kenaikan cukai ini sistem berantai yang pada akhirnya petani yang menjadi korban karena tidak punya sandaran dan pijakan. Mau tidak mau, petanilah yang harus menanggung beban penderitaan dan kesengsaraan dari dampak aturan dan kebijakan pemerintah tersebut," ucap Suryana.
Pemerintah, dalam konteks menaikan cukai hasil tembakau, diumpamakan benci tapi rindu.
Pemerintah "membenci" tembakau, dengan pertimbangan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Dalihnya, menaikkan hasil cukai tembakau untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat, terutama pada anak-anak dan remaja.
Dibalik itu ada "kerinduan" dari pemerintah untuk memetik pendapatan negara yang cukup besar dari cukai rokok tersebut. Bahkan, cukai rokok itu, bagian devisa negara yang cukup besar.
Apalagi hasil dari cukai rokok yang besar itu, dipakai untuk pembangunan dan membiayai berbagai program serta kegiatan, terutama bidang kesehatan.
Pendapatan cukai rokok, dibagikan kepada daerah kabupaten/kota berupa Dana Bagi Hasil Cukai Rokok.
"Makanya, ungkapan pemerintah terhadap komoditas tembakau ini, benci tapi rindu. Konsumsi rokok dikurangi demi menjaga kesehatan, tapi cukai tembakaunya sangat dibutuhkan. Jadi seolah-olah pemerintah melarang merokok tapi butuh uang dari (cukai) rokok," ucap Suryana.***(Satrio Widianto/Pikiran-Rakyat.com)