Naiknya Harga Rokok Karena Dilema antara Merusak Tubuh dan Penghasilan Negara

8 Januari 2022, 21:38 WIB
Ilustrasi rokok. Cukai hasil tembakau yang naik tak diambil pusing oleh industri rokok. /Pexels/Basil MK/

BeritaSampang.com - Mulai awal Januari 2022 Kementrian Keuangan menaikkan kembali cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12 persen dan 4,5 persen untuk golongan sugaret kretek (SKT).

Kenaikan cukai itu juga berdampak pada harga rokok yang semakin mahal yang tentunya akan dirasakan banyak masyarakat konsumen rokok terlebih yang berekonomi menengah ke bawah.

Kenaikan cukai ini menimbulkan dilema karena pro kontra di dalamnya yang menimbulkan polemik dalam pengambilan keputusan.

Baca Juga: WNA dari 14 Negara ini Dilarang Masuk ke Indonesia.

Hal itu dikatakan oleh Mentri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang juga memikirkan dampak besar terhadap masyarakat.

Seperti dikuti oleh BeritaSampang.com dari lama Pikiran-Rakyat.com berjudul "Harga Rokok Naik, Dibenci karena Merusak Raga Dirindu karena Biayai Negara"

Dia menjelaskan, dalam pengambilan kebijakan cukai rokok, meski­ kontribusi dalam penerimaan negara sangat besar, Rp175 triliun, pemerintah juga perlu mempertimbangkan faktor kesehatan. “Itu (penerimaan negara) gede, kemudian concern kesehatan mun­cul,” katanya.

Baca Juga: Tangkap Joki Vaksin, Kapolresta Banjarmasin: Ayo Silakan Vaksin Bagi Diri Sendiri

Kementerian Keuangan me­masang target kenaikan penerimaan cukai hasil tembakau pada 2022 mencapai Rp20 tri­liun. Target penerimaan cukai rokok hampir Rp173 triliun pada 2021 dan menjadi hampir Rp193 tri­liun tahun 2022 sehingga kenaikannya hampir Rp20 triliun.

Pemerintah, kata Sri Mul­yani, lebih memilih kenaikan tarif cukai hasil tembakau atau cukai rokok dilakukan untuk melindungi kesehatan masyarakat.

Karena, rokok adalah produk berbahaya yang harus dijauhkan dari masyarakat sehingga dilaku­kan kenaikan harga agar makin tak terjangkau.

Baca Juga: Berikut Persyaratan yang Harus Dipenuhi untuk Mendapat Vaksin Booster Dosis Ketiga, Cek Apa Saja!

"Pemerintah berupaya me­lindungi masyarakat dari kon­sumsi barang-barang berbahaya seperti rokok," ujarnya.

Apalagi rokok ada­lah penyebab kematian no­mor dua di dunia dan juga penyebab meningkatnya ­ri­siko stunting. Kondisi itu tentu tidak baik bagi Indonesia terutama dari sisi per­eko­nomian.

"Keluarga perokok memi­liki anak stunting 5,5 persen lebih tinggi tinggi dibandingkan ti­dak merokok. Negara yang memiliki tenaga kerja stunting cenderung memiliki pendapatan perkapita lebih rendah," katanya.

Pada masa pandemi COvid-19, perokok berisiko 14 kali lebih tinggi terinfeksi Covid-19 di­bandingkan bukan perokok. Penderita Covid-19 yang perokok 2,4 kali lebih berpotensi masuk kategori berat dibandingkan yang ti­dak.

"Oleh karena itu, de­ngan bahaya rokok ini peme­rintah menggunakan instrumen kebijakan cukai," kata dia.

Prevalensi

Dengan adanya kenaikan itu, diharapkan tingkat prevalensi merokok masyarakat bisa menurun.

Prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.

Pemerintah me­nargetkan prevalensi mero­kok terutama anak usia 10-18 tahun bisa turun menjadi 8,83 persen tahun depan dari saat ini 8,97 persen.

"Kebijakan tarif CHT dilakukan agar mendorong rokok semakin tidak terjang­kau masyarakat yang kita lindungi yakni anak-anak dan orang mis­kin," katanya.

Sri Mulyani mengungkap, biaya kesehatan akibat merokok sebesar Rp17,9 tri­liun-Rp27,7 triliun setahun. Dari jumlah biaya tersebut, Rp10,5 trilun-Rp15,6 triliun berasal dari BPJS Kesehatan.

"Pertama dari sisi kesehat­an, dalam rangka pengenda­li­an konsumsi. Rokok adalah pengeluaran terbesar kedua. Baik di perkotaan dan perde­sa­an, rokok adalah komuditas dua tertinggi dari sisi ­pe­ngeluaran rumah tangga, sesudah beras," katanya.

Mulai tahun 2022, peme­rintah juga akan merombak pembagian dana dari hasil pemungutan cukai rokok. Dana bagi hasil cukai tembakau, terus diperbaiki dari sisi kebijakannyanya.

Pembagian dana cukai ro­kok akan disalurkan untuk kesehatan (25 persen), kesejahteraan masyarakat (50 persen), dan penegakan hukum (25 persen).

Porsi untuk kesejah­teraan masyarakat akan di­bagi mencakup sebesar 20 persen peningkatan kualitas bahan baku, keterampilan kerja, dan pembinaan industri, serta 30 persen pemberi­an bantuan.

Sri Mulyani menyadari bah­wa kenaikan cukai rokok rentan menimbulkan produksi rokok ilegal. Oleh sebab itu, dia mewanti-wanti pengawasan produksi rokok ilegal.

"Ini perlu untuk kita waspadai. Semakin tinggi harga rokok dan tarif cukai­nya, semakin besar insentif terjadinya kegiatan dari produksi rokok ilegal," katanya.

Angka prevalensi merokok nasional yaitu 29 persen menempatkan Indonesia sebagai pa­sar rokok tertinggi ketiga di dunia setelah China dan India (WHO).

Berdasarkan lapor­an Riset Kesehatan Dasar 2018, prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas di Indonesia 33,8 per­sen. Jumlah itu dido­minasi laki-laki, 62,9 persen.

Konsumsi rokok pada pe­rokok usia 10-18 tahun juga mengalami peningkatan 1,9 persen dalam 5 tahun (2013-2018), bahkan anak sudah mulai merokok sejak usia sekolah dasar.

"Karena harga rokok yang murah, bisa dibeli secara batangan, dan tidak ada larangan yang tegas bagi anak-anak untuk membeli rokok. Saat ini, ­harga jual eceran rokok di Indonesia masih tergolong rendah," katanya.

Ketua Ikatan Ahli Kesehat­an Masyarakat Indonesia, Dr. Ede Surya Darmawan me­nyampaikan apresiasinya ke­pada pemerintah karena me­no­morsatukan kesehatan publik jika ingin target utama RPJMN 2020-2024 tercapai dan sekaligus me­nik­mati bonus demografi.

Ia menegaskan, upaya melindungi kesehatan ma­syarakat adalah upaya ber­sama semua pihak.

Pening­katan cukai dan harga rokok yang mahal merupakan salah satu pe­ning­katan penerima­an negara, mengingat harga rokok di Indonesia paling murah di kawasan regional.

Kalah promosi

Dokter spesialis paru dari RS Santosa Kopo dr Rohmat Andiyadi, SpP berpendapat, kenaikan cukai rokok bagi sisi kesehatan memang diha­rapkan untuk menekan perokok demi kesehatan ma­sya­rakat yang lebih baik.

Hanya, naiknya cukai rokok itu ternyata tidak menyebab­kan menurunnya jumlah perokok di Indonesia.

"Walau cukai rokok terus naik, pengguna­an rokok juga terus mening­kat, bahkan peningkatan terjadi pada usia muda. Riset Da­sar Kesehatan Dasar Nasional menyebut­kan bahkan jumlah perokok anak usia 10-18 tahun pada 2013 adalah 7,2 persen dan meningkat pada 2019 menjadi 9,1 persen," kata Rohmat di Bandung, Jumat 7 Januari 2022.

Rohmat mengatakan, naik­­nya pengguna rokok aktif akan meningkatkan juga paparan asap pada orang lain.

Perokok pasif akan ren­tan terhadap penularan infeksi saluran napas baik itu dari virus, bakteri atau kuman lainnya.

Rohmat mengutarakan, edu­kasi dan promosi kesehatan terhadap bahaya rokok masih kalah dengan promosi produk rokok. Kondisi ini merupakan tantangan bagi semua pihak, termasuk untuk pemerhati kesehatan.

Ketua Tobacco Control Su­pport Center-Ikatan Ahli Ke­sehatan Masyarakat Indo­nesia, dr. Su­marjati Arjoso, SKM menyambut baik dan menyampaikan apresiasi ­terhadap keputusan peme­rintah.

 

Akan tetapi, kata Sumarjati, kenaikan tersebut belum cukup ideal untuk menurunkan prevalensi merokok, khu­­susnya di kalangan anak dan perempuan.

"Pemerintah seharusnya menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen, harga jual eceran naik 57 per­sen dan melarang penjualan rokok batangan agar lebih efektif membuat rokok sungguh-sungguh tidak terjang­kau," katanya.

Selain itu, Sumarjati juga menyayangkan dibatalkannya simplifikasi cukai oleh pemerintah walaupun celah tarif diperkecil.

Penyederha­na­an struktur tarif cukai ha­sil tembakau secara merata akan menjadi instrumen yang ideal untuk mening­kat­kan penerimaan negara se­kaligus penurunan konsumsi rokok di masya­rakat.

Rokok lokal

Kenaikan cukai tembakau memicu pro dan kontra terutama dari sisi perokok. Warga asal Rancabolang, Kecamatan Rancasari, Kota Bandung Agung Nugraha (34) menyatakan, kenaikan tersebut sah-sah saja. Meski kenaikan cukai tembakau dipastikan ber­imbas pada harga rokok.

 

Tokoh pemuda Kota Bandung, Sugih Gandamihardja mengganggap kenaikan cu­kai rokok berbahaya bagi UMKM rokok lokal yang ada di Indonesia. Dikhawatirkan, akan banyak UMKM yang gulung tikar, termasuk petani tembakau dan cengkih.

 

Menurut Sugih, pemerintah seharusnya hanya me­naik­kan cukai tembakau ro­kok asing saja.

 

Pemilik merek rokok lokal, Sangkuriang, Firdaus Hadi mengatakan, kenaikan cu­kai tembakau terjadi pada rokok yang dibuat dengan menggunakan mesin. Kenaikannya bahkan hingga 10-15 persen sedangkan rokok Sangkuriang semuanya meng­gunakan tangan.

 

Nasib petani

Benci tapi rindu. Tampak­nya itulah, perumpamaan yang pas bagi pemerintah terhadap komoditas temba­kau.

Perumpamaan itu, ter­ucap renyah dari Ketua Aso­siasi Petani Tembakau Indo­nesia Jawa Barat, Sur­yana di Tanjungsari, ­Su­medang.

Ia mengatakan, seberat-beratnya dampak kenaikan cukai hasil tembakau oleh pemerintah, yang sengsara tetap para petani tembakau.

"Ujung penderitaan dari kenaikan cukai hasil tembakau, ada di petani," ujar Suryana.

Menurut dia, kenaikan cu­kai hasil tembakau, memang dampak langsungnya terhadap industri rokok.

Akan te­tapi, bagi industri rokok ti­dak jadi masalah, bahkan me­reka tidak mau ambil pu­sing. Ketika cukai hasil tembakaunya dinaikkan peme­rintah, pengusaha industri ro­kok tinggal menekan harga jual tembakau dari petani dengan harga murah.

"Kalau petani, mau menekan siapa? Kenaikan cukai ini sistem berantai yang pada akhirnya petani yang menjadi korban karena tidak punya sandaran dan pijakan. Mau tidak mau, petanilah yang harus menanggung beban penderitaan dan keseng­saraan dari dampak atur­an dan kebijakan peme­rintah tersebut," ucap Sur­yana.

Pemerintah, da­lam konteks menaikan cukai hasil tembakau, diumpama­kan benci tapi rindu.

Peme­rintah "membenci" tembakau, dengan pertimbangan untuk menjaga kesehatan masyarakat. Dalihnya, me­naik­kan hasil cukai temba­kau untuk mengendalikan konsumsi rokok di masya­rakat, terutama pada anak-anak dan remaja.

Dibalik itu ada "ke­rinduan" dari pemerintah untuk memetik pendapatan negara yang cukup besar dari cukai rokok tersebut. Bahkan, cukai rokok itu, bagian devisa negara yang cukup besar.

Apalagi hasil dari cukai ro­kok yang besar itu, dipakai untuk pembangunan dan membiayai berbagai prog­ram serta kegiatan, terutama bidang kesehatan.

Pendapat­an cukai rokok, dibagikan kepada daerah kabupaten/­kota berupa Dana Bagi Hasil Cukai Rokok.

"Makanya, ungkapan pemerintah terhadap komoditas tembakau ini, benci tapi rindu. Konsumsi rokok dikurangi demi menjaga kesehatan, tapi cukai tembakaunya sangat dibutuhkan. Jadi seolah-olah pemerintah melarang merokok tapi butuh uang dari (cukai) rokok," ucap Suryana.***(Satrio Widianto/Pikiran-Rakyat.com)

Editor: Solehoddin

Sumber: Pikiran Rakyat

Tags

Terkini

Terpopuler