Bentuk-bentuk Bahasa dalam Talak, Baik Secara Tegas Maupun Sindiran

- 29 Mei 2022, 16:58 WIB
Ilustrasi perceraian. Angka perceraian di Kota Cimahi di masa pendemi ini terbilang tinggi.
Ilustrasi perceraian. Angka perceraian di Kota Cimahi di masa pendemi ini terbilang tinggi. /Pexels/burak kostak

BeritaSampang.com - Bentuk-bentuk bahasa dalam talak, baik secara tegas (sharih) maupun sindiran (kinayah).

Berikut ini akan kami jelaskan syarat terjadinya talak dengan sindiran, yaitu lafal yang diungkapkan disertai dengan niat.

Hanya para ulama berbeda pendapat tentang waktu niat, yaitu ada tiga pendapat:

Pertama, adanya niat harus pada permulaan mengucap sampai dengan selesainya.

Baca Juga: Ulama Berbeda Pendapat tentang Terjadinya Talak dengan Tulisan

Kedua, cukup dibarengkan pada awal lafal saja dan menjalar pada lafal setelahnya.

Ketiga, cukup niat pada bagian lafal, baik pada awal atau akhirnya karena sumpah itu diperhitungkan pada kesempurnaannya.

Berdasarkan hal tersebut, jikalau seseorang mengucapkan lafal talak yang sharth kemudian berkata:

"Saya tidak menghendaki talak dan aku tidak bermaksud itu, aku bermaksud makna lain" tidak dibenarkan putusan itu dan terjadilah talak.

Baca Juga: Berikut Adalah Beberapa Poin dari Makna Ungkapan Talak Kinayah

Jika ia menggunakan lafal sindiran, berkata: "Aku tidak berniat talak, tetapi berniat makna lain" dibenarkan putusan itu dan tidak terjadi talak.

Karena lafal yang digunakan ada kemungkinan makna talak dan makna lain, yang membantu maksudnya adalah niat dan tujuan.

Inilah pendapat Imam Asy-Syafi'i dan Malik karena adanya hadis Aisyah ra. yang diriwayatkan Al-Bukhari dan yang lain.

Baca Juga: Penjelasan Ungkapan Talak dengan Sindiran Kinayah

Sesungguhnya putri Al-Jün tatkala masuk kepada Rasulullah berkata: Aku mohon perlindungan kepada Allah dari engkau." Rasulullah bersabda: "Aku berlindung dengan sesuatu yang agung, pulanglah kamu kepada keluargamu."

Dalam kitab Shahihain dan lain-lain tentang hadis Ka'ab bin Malik ketika dikatakan kepadanya: "Rasulullah perintah engkau agar meng hindari istrimu."

Maka ia berkata: "Apakah aku menalaknya atau apa yang aku kerjakan?" Ia berkata: "Tetapi hindarilah ia, jangan engkau mendekatinya." Kemudian ia berkata: "Pulanglah engkau ke keluargamu."

Baca Juga: Perbedaan Pendapat Jumhur Ulama Terkait dengan Lafal Talak

Dua hadis di atas, memberikan pengertian bahwa lafal tersebut bermakna talak apabila disertai dengan niat dan tidak terjadi talak jika tidak disertai niat.

Hukum ini berlaku pada undang-undang modern Nomor 25 Tahun 1928 pada materi ke-4, bahwa talak sindiran mengandung makna talak dan makna lain, talak tidak terjadi melainkan dengan niat.

Namun, mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa talak sindiran terjadi jatuh talak jika disertai dengan niat dan ada indikasi sikap atau tingkah laku.

Baca Juga: Kapan Waktu Terbaik Shalat Dhuha? Inilah Jawaban Ustadz Adi Hidayat

Undang-undang tidak mengambil pendapat Hanafiyah yang meng hukumi talak sindiran terjadi talak hanya dengan indikasi sikap, tetapi juga mempersyaratkan adanya niat pencerai.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

اَلطَّلَا قُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِ مْسَا كٌ بِۢمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌ بِۢاِحْسَا نٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَـکُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّاۤ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْــئًا اِلَّاۤ اَنْ يَّخَا فَاۤ اَ لَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِ نْ خِفْتُمْ اَ لَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَا حَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا ۚ وَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُ ولٰٓئِكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
ath-tholaaqu marrotaani fa imsaakum bima'ruufin au tasriihum bi-ihsaan, wa laa yahillu lakum ang ta-khuzuu mimmaaa aataitumuuhunna syai-an illaaa ay yakhoofaaa allaa yuqiimaa huduudalloh, fa in khiftum allaa yuqiimaa huduudallohi fa laa junaaha 'alaihimaa fiimaftadat bih, tilka huduudullohi fa laa ta'taduuhaa, wa may yata'adda huduudallohi fa ulaaa-ika humuzh-zhoolimuun

"Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu (wali) khawatir bahwa keduanya tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zalim."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 229).***

Editor: Solehoddin

Sumber: Buku Fiqh Munakahat (Khitbah, Nikah, dan Talak)


Tags

Artikel Rekomendasi

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah