Prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah.
Pemerintah menargetkan prevalensi merokok terutama anak usia 10-18 tahun bisa turun menjadi 8,83 persen tahun depan dari saat ini 8,97 persen.
"Kebijakan tarif CHT dilakukan agar mendorong rokok semakin tidak terjangkau masyarakat yang kita lindungi yakni anak-anak dan orang miskin," katanya.
Sri Mulyani mengungkap, biaya kesehatan akibat merokok sebesar Rp17,9 triliun-Rp27,7 triliun setahun. Dari jumlah biaya tersebut, Rp10,5 trilun-Rp15,6 triliun berasal dari BPJS Kesehatan.
"Pertama dari sisi kesehatan, dalam rangka pengendalian konsumsi. Rokok adalah pengeluaran terbesar kedua. Baik di perkotaan dan perdesaan, rokok adalah komuditas dua tertinggi dari sisi pengeluaran rumah tangga, sesudah beras," katanya.
Mulai tahun 2022, pemerintah juga akan merombak pembagian dana dari hasil pemungutan cukai rokok. Dana bagi hasil cukai tembakau, terus diperbaiki dari sisi kebijakannyanya.
Pembagian dana cukai rokok akan disalurkan untuk kesehatan (25 persen), kesejahteraan masyarakat (50 persen), dan penegakan hukum (25 persen).
Porsi untuk kesejahteraan masyarakat akan dibagi mencakup sebesar 20 persen peningkatan kualitas bahan baku, keterampilan kerja, dan pembinaan industri, serta 30 persen pemberian bantuan.
Sri Mulyani menyadari bahwa kenaikan cukai rokok rentan menimbulkan produksi rokok ilegal. Oleh sebab itu, dia mewanti-wanti pengawasan produksi rokok ilegal.
"Ini perlu untuk kita waspadai. Semakin tinggi harga rokok dan tarif cukainya, semakin besar insentif terjadinya kegiatan dari produksi rokok ilegal," katanya.
Artikel Rekomendasi