Syarat Sighat Akad atau Lafal Akad, Penjelasan Fikih Munakahat

19 Januari 2022, 09:00 WIB
Ilustrasi menikah- /27707/Pixabay

 

BeritaSampang.com - SYARAT SHIGHAT AKAD (LAFAL AKAD)

Shighat akad adalah ijab dan qabul. Keduanya menjadi rukun akad. Bergantung pada keduanyalah hakikat sesuatu dan wujudnya secara syara'.

Di sini ada beberapa syarat pada ijab dan qabul, sebagian menetap pada shighat akad dan sebagian lain menetap pada lafal yang menentukan keabsahan akad. Berikut ini akan dijelaskan beberapa syarat ijab-qabul.

Baca Juga: Islam Membimbing Agar Memilih Wanita yang Memiliki Kriteria Sifat-Sifat Tertentu

"Shighat Akad Berbentuk Kata Kerja (Fi'il)"

Lafal yang mengungkapkan ijab-qabul yang menunjukkan penyelengaraan akad berbentuk kata kerja (fi'il).

Pada dasarnya lafal yang digunakan mengungkap penyelenggaraan akad dalam syara' hendaknya fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau).

Hal tersebut dikarenakan fi'il madhi merupakan bentuk kalimat yang mengungkapkan penyelenggaraan akad dalam bahasa Arab, seperti zawwajtu atau tazawwajtu (aku nikahkan engkau)

Baca Juga: Harus Tahu Alasan Kenapa Harus Membaca Istighfar Setiap Waktu, Penjelasan Syekh Ali Jaber

Ungkapan inilah yang kemudian disebut ijab. Kemudian dijawab, radhitu (aku ridha) dan wafaqtu (aku setuju), yang kemudian disebut qabul.

Terkadang masing-masing ijab-qabul atau salah satunya menggunakan jumlah ismiyah (kalimat yang diawali kata benda atau kata nama).

Karena bentuk kalimat tersebut menunjukkan makna tetap dan kontinuitas terus-menerus, seperti perkataan seorang laki-laki kepada seorang wanita Ana zaujuki (Aku suamimu) kemudian dijawab:

Baca Juga: Inilah Dia Keistimewaan Membaca Al-Qur'an Meski Pembacanya Masih Tebata-bata

Ana zawjonuka (Aku istrimu). Atau calon suami berkata: Ana zaujuki (Aku suamimu) dan dijawab oleh si wanita: Tazawwajtuka (Aku menikahi engkau) atau Qabiltu zawājaka (Aku terima pernikahanmu).

Terkadang ijab menggunakan fi'il mudhari (kata kerja bentuk sedang atau akan datang) sedangkan qabul menggunakan fi'il madhi (kata kerja bentuk lampau)

Misalnya ucapan seorang laki-laki kepada seorang wanita Atazawwajuki (Aku menikahimu) wanita itu pun menjawab: Qabiltu zawajaka (Aku terima pernikahanmu).

Baca Juga: Pendapat yang Kuat adalah Sunnahnya menikah Lebih Sfdhal Daripada Membujang Sebagai Pengamalan


Dengan demikian, sahlah pernikahannya dengan menggunakan bentuk akad yang menunjuk pekerjaan waktu sedang atau akan datang (fi'il mudhari') jika ada indikasi bahwa maksud kata kerja tersebut adalah menyepakati akad waktu sekarang sehingga tidak menentang dan tidak menuntut janji dari pihak lawan.

Di antara indikatornya adalah mengundang tamu undangan ke majelis akad, menghadirkan saksi pada saat berlangsungnya akad dan lain lain.

Semua itu sebagai indikator bahwa maksud bentuk akad tersebut adalah menyepakati akad sekarang bukan yang akan datang.

Baca Juga: Ulama Asy-Syafi'iyah Mengambil Dalil Secara Manqul Bahwa Seseorang yang Mampu Menikah Jika Khawatir Zina


Oleh karena itu, jika seorang laki-laki kepada laki-laki lain berkata: Tuzawwijuni ibnataka (Engkau nikahkan aku dengan putrimu). Kemudian dijawab: Na'am (Ya), atau Zawwajtuka iyyâhâ (Aku nikahkan engkau dengannya).

Jika majelis memang disiapkan untuk acara akad, sah akad tersebut. Yang pertama disebut ijab dan yang kedua disebut qabul.

Akan tetapi, apabila majelis bukan disiapkan untuk akad dan tidak ada indikator lain yang menunjuk pada kesepakatan akad maka tidaklah sempurna akadnya. Laki-laki pertama hendaknya menyempurnakan kalimatnya:

Baca Juga: Menurut Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, Sunnah Muakkadah Nikahnya Seseorang Dalam Keadaan Normal

"Aku terima setelah penerimaan wali" karena kalimatnya menjadi ijab, setelah itu ada qabul. Kalimat pertama dari suami sebagai pemberitahuan atau pengantar untuk mengetahui bagaimana kecintaan wali dalam menikahkan putrinya.

Demikian juga jika seorang laki-laki dengan tegas menggunakan kalimat tanya, misalnya ia mengatakan kepada wali:

Hal zawwajtani Fulanah mewakkilataka? (Apakah engkau menikahkan aku dengan Fulanah yang telah menyerahkannya kepada engkau?) Atau berkata langsung dengan wanita yang sudah dewasa: Zawwajtini nafsaki? (Apakah engkau bersedia menikahkan dirimu kepada aku?)


Baca Juga: Dosa Menjadi Sebab Utama Seseorang Tidak Memiliki Keberkahan dan Ketentraman, Penjelasan Syekh Ali Jaber


Demikian juga ijab dari bentuk kalimat perintah (fi'il amar). Bentuk kalimat ini pada dasarnya untuk menuntut terselesaikannya pekerjaan pada waktu yang akan datang, tetapi dapat pula digunakan dalam menciptakan akad nikah.

Jika bukan bermaksud ingin mengetahui kecintaan pihak lain atau menuntut janji untuk menikah, kalimat tersebut sebagai indikator nikah.

Jika seorang laki-laki berkata kepada wanita: Zawwijini nafsaki (Nikahkan aku akan dirimu) dengan maksud menciptakan akad bukan semata-mata meminang atau ingin mengetahui kecintaannya.

Baca Juga: Hadis yang Melarang Membujang Tidak Berarti Meninggalkan yang Wajib, Ia Hanya Meninggalkan Mandub

Wanita itu lalu berkata: Zauwajtuka nafsi (Aku nikahkan engkau dengan diriku). Dengan demikian, sahlah akad pernikahan tersebut dan tidak perlu kalimat lain dari pihak laki-laki.

Sebagian ulama mengatakan, bentuk kalimat perintah (amar) terhitung menjadi bagian atau perwakilan dari satu pihak yang mengucapkan terhadap pihak lain.

Jika peminang mengatakan "Nikahkan aku". Pihak lain menjawab: "Aku terima" maka berarti ia melaksanakannya.

Baca Juga: Jodoh Adalah Urusan Allah Semata Bukan Karena Hal Lain, Penjelasan Buya Yahya

Pihak pertama mewakilkan pihak kedua dan pihak kedua melaksanakan akad dari kedua belah pihak dengan ungkapannya.

Akad nikah menjadi sah sehingga timbullah hak atas penguasaan diri seseorang dari dua belah pihak. (Muhammad Abi Zahrah, Al-Ahwil Asy-Syakhshiyah, hlm. 36-37).***

Editor: Solehoddin

Tags

Terkini

Terpopuler